Membaca Kota sebagai Teks: Mengapa Ruang Kita Penuh Makna?
Ketika kita berjalan di sebuah kota, sering kali kita hanya melihat permukaannya: bangunan, jalan, lalu lintas, dan hiruk-pikuk aktivitas sehari-hari. Namun, kota sesungguhnya jauh lebih dari itu. Kota adalah teks—sebuah kumpulan tanda, simbol, ritus, dan memori yang ditulis oleh banyak generasi dan terus dibaca ulang oleh penghuninya.
Buku Kota Sebagai Teks: Ruang, Iman, dan Sosialitas di Nusantara lahir dari kegelisahan sekaligus kekaguman terhadap cara kota-kota di Nusantara menyimpan begitu banyak makna. Di dalamnya saya menelusuri empat kota penting di Jawa: Demak, Kudus, Semarang, dan Yogyakarta. Masing-masing kota memiliki lapisan-lapisan makna yang unik dan terkadang tersembunyi.
Demak berbicara tentang genealogis spiritual Islam Jawa. Masjid Agung Demak bukan sekadar bangunan bersejarah, tetapi simpul makna yang menghubungkan para wali, politik awal kerajaan Islam, dan ritus kehidupan masyarakat hingga hari ini. Kota ini menunjukkan bagaimana ruang dapat mengandung memori iman sekaligus menjadi penanda identitas kolektif.
Kudus adalah contoh paling indah dari ruang hibrida. Di sini, Islam tidak datang sebagai pemutus kebudayaan, tetapi sebagai mediator yang bernegosiasi dengan tradisi Hindu-Jawa dan jejak komunitas Tionghoa. Menara Kudus adalah bukti visual bagaimana satu ruang dapat menampung banyak lapis makna—dari arsitektur, ritus, hingga cara masyarakat merayakan toleransi kultural.
Semarang, sebagai kota pelabuhan, mengajarkan kita betapa pentingnya mobilitas. Di kota ini, orang datang dan pergi, budaya bertemu dan berbaur, dan identitas terus dinegosiasikan. Ruang-ruang seperti Kota Lama, Pecinan, hingga pelabuhan menjadi saksi bagaimana heterogenitas menjadi nafas kota.
Yogyakarta adalah kota simbolik. Dari garis imajiner Merapi–Tugu–Kraton–Parangtritis hingga tata ruang desa-desa budaya, Yogya membuktikan bahwa kota dapat dibangun bukan hanya dengan pertimbangan ekonomi, tetapi visi kosmologis dan politik yang besar. Ruangnya menjadi bahasa kekuasaan sekaligus panggung budaya yang terus hidup.
Melalui pendekatan semiotik dan hermeneutik, saya berusaha melihat bagaimana kota-kota ini menjadi teks yang hidup. Kota ditulis oleh sejarah panjang, tetapi juga selalu ditafsir ulang oleh praktik sosial masyarakatnya—dari ritual religius, interaksi pasar, perayaan budaya, hingga cara mereka menempati ruang sehari-hari.
Buku ini bukan hanya ditujukan bagi peneliti, arsitek, atau mahasiswa perencanaan kota. Ini adalah undangan bagi siapa pun yang ingin membaca kota lebih dalam: melihat makna di balik bentuk, membaca kisah di balik bangunan, dan mendengar suara yang sering tidak terdengar dari ruang-ruang yang kita lewati setiap hari.
Semoga Kota Sebagai Teks membantu kita memahami bahwa kota bukan hanya tempat tinggal—tetapi cermin diri, ingatan kolektif, dan narasi hidup masyarakatnya. Pada akhirnya, kota adalah kita.
Baca bukunya di sini>> bit.ly/DianNafi
.jpg)
0 Komentar