David Hidayat, Penjaga Laut dari Pesisir Selatan yang Menyelamatkan Samudra
Kisah inspiratif David Hidayat, pemuda dari Pesisir Selatan, Sumatera Barat, yang mendedikasikan hidupnya menjaga laut dan membangun kesadaran lingkungan melalui gerakan “Penjaga Laut Pesisir Selatan”. Sebuah kisah nyata tentang cinta pada alam dan bangsa.
Ombak memecah di bibir pantai Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Di antara riuh suara burung camar dan gemuruh air laut, berdiri seorang pemuda yang tak kenal lelah mengais sisa-sisa sampah dari pasir putih.
Namanya David Hidayat — lelaki yang percaya bahwa laut bukan sekadar tempat mencari ikan, tapi juga rumah yang harus dijaga dengan cinta.
Dari Keprihatinan Lahir Gerakan
Lahir dan besar di kampung nelayan yang setiap hari berhadapan dengan tumpukan limbah laut, David kecil tumbuh dengan pemandangan plastik dan jaring rusak yang terbawa arus.
“Saya melihat laut bukan lagi biru, tapi abu-abu,” ujarnya suatu sore ketika ditemui tim Pewarta Astra.
Dari rasa prihatin itulah ia mendirikan komunitas Penjaga Laut Pesisir Selatan — gerakan muda untuk menyelamatkan pesisir dari kerusakan ekosistem.
🪸 Aksi Nyata di Tanah Sendiri
Gerakan David dimulai sederhana: mengajak teman-teman sebaya membersihkan pantai setiap akhir pekan.
Namun langkah kecil itu menular. Kini lebih dari 200 relawan muda rutin turun ke lapangan, menanam mangrove, memilah limbah laut, hingga membuat eco-brick dari sampah plastik.
“Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Laut sudah memberi makan kita,” kata David sambil tersenyum, tangannya masih memegang karung berisi botol plastik.
⚙️ Edukasi dan Inovasi Hijau
Melalui dukungan SATU Indonesia Awards dari Astra, David mengembangkan program edukasi lingkungan berbasis pesisir.
Ia mengunjungi sekolah-sekolah sekitar pantai, mengajak anak-anak mencintai laut sejak dini.
Tak berhenti di situ, David menggagas Sekolah Alam Pesisir, tempat anak-anak belajar menanam bakau, mengelola sampah, hingga membuat kerajinan dari limbah laut.
Kini, lebih dari 5 ton limbah plastik per tahun berhasil dialihkan dari laut berkat program ini.
🌤️ Mengubah Pandangan, Mengubah Nasib
“Dulu orang mengejek kami. Katanya, percuma bersih-bersih kalau besok kotor lagi,” kenangnya.
Tapi David tidak berhenti. Ia tahu perubahan butuh waktu.
Perlahan, masyarakat mulai melihat hasilnya. Pantai yang dulu kumuh kini jadi destinasi wisata kecil. Ikan lebih banyak, nelayan lebih sadar lingkungan.
Apa yang dimulai sebagai aksi kecil kini tumbuh jadi gerakan sosial.
🌏 Harapan dari Laut
Bagi David, menjaga lingkungan bukan sekadar aksi sosial, melainkan bentuk cinta pada tanah air.
“Kalau kita mencintai Indonesia, maka lautnya juga harus kita cintai. Karena laut adalah paru-paru negeri ini,” katanya mantap.
Saat senja tiba dan ombak menepi, David kembali menatap cakrawala.
“Selama laut masih bernafas, saya akan terus menjaganya,” ujarnya pelan.
Itu bukan sekadar janji — tapi doa seorang anak bangsa kepada bumi yang memberinya kehidupan.
Melalui komunitas Andespin (Anak Desa Sungai Pinang), David memulai dari hal sederhana: membersihkan pantai, menanam kembali mangrove, dan mengajak anak-anak sekolah belajar mencintai laut. Dari kegiatan kecil itu, lahirlah gerakan besar — mengubah kesadaran kolektif masyarakat bahwa laut bukan tempat membuang, tetapi tempat merawat. Dalam prosesnya, David menggandeng nelayan, ibu-ibu pesisir, hingga pelajar muda untuk ikut menanam, memilah, dan mengolah sampah menjadi produk bernilai. Ia menanamkan filosofi sederhana namun dalam: “Kalau kita mencintai Indonesia, maka lautnya harus kita cintai juga.”
Kisah ini menjadi sangat relevan bila kita menengok pesisir Demak, yang memiliki dinamika serupa, bahkan lebih kompleks.
Kabupaten Demak di Jawa Tengah adalah wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap abrasi, banjir rob, dan degradasi lingkungan. Setiap tahun, lahan produktif dan permukiman di sepanjang pantai Sayung hingga Wedung perlahan lenyap ditelan air laut. Di beberapa titik, garis pantai mundur hingga dua kilometer dari posisi aslinya. Mangrove yang dulu melimpah kini banyak berganti tambak dan permukiman, sementara limpasan limbah rumah tangga dan aktivitas industri memperburuk kualitas air.
Namun seperti di Sungai Pinang, di balik kerusakan itu selalu ada harapan.
Kisah David Hidayat memberi cermin sekaligus arah bagi upaya pemulihan pesisir Demak. Gerakan berbasis komunitas yang ia bangun — yang memadukan ekologi, pendidikan, dan ekonomi lokal — bisa menjadi model yang menginspirasi untuk wilayah pesisir di utara Jawa.
1. Ekologi: Menanam Mangrove, Menumbuhkan Harapan
Di Demak, program rehabilitasi mangrove telah berjalan bertahun-tahun. Namun banyak yang berhenti di tahap penanaman simbolik tanpa perawatan berkelanjutan. David menunjukkan bahwa rehabilitasi tidak cukup hanya dengan menanam — tapi juga dengan menumbuhkan rasa kepemilikan.
Di Sungai Pinang, ia membangun nursery mangrove sendiri dan melibatkan masyarakat sebagai “orang tua asuh” bagi setiap bibit. Bibit mangrove bukan sekadar pohon, tapi simbol tanggung jawab. Pendekatan ini sangat mungkin diterapkan di Demak: membangun pusat pembibitan berbasis desa, melatih anak muda menjadi “penjaga akar pesisir”, dan memastikan setiap batang mangrove tumbuh bersama kesadaran ekologis.
Bayangkan jika setiap sekolah pesisir di Demak memiliki satu program “Adopsi Mangrove”, di mana siswa merawat tanaman mereka sepanjang tahun ajaran — hasilnya bukan hanya pantai yang hijau, tetapi juga generasi yang mencintai laut seperti David mencintainya.
2. Pendidikan: Membangun Sekolah Alam Pesisir
David tidak hanya menanam mangrove, ia juga menanam pengetahuan.
Ia mendirikan Sekolah Alam Pesisir, tempat anak-anak belajar biologi laut, pengelolaan sampah, hingga pembuatan kerajinan dari limbah plastik. Pendidikan di sini bukan sekadar teori, tetapi pengalaman langsung — merasakan lumpur, menanam, dan melihat hasilnya.
Demak membutuhkan ruang belajar semacam ini. Di tengah kurikulum formal yang sering terlepas dari konteks lokal, Sekolah Alam Pesisir bisa menjadi oase: tempat anak-anak Demak memahami bahwa menjaga lingkungan bukan tugas orang dewasa saja, tapi panggilan seluruh warga.
Kolaborasi antara sekolah, universitas, komunitas, dan pemerintah daerah bisa menghidupkan model “Sekolah Alam Pesisir Demak” yang terinspirasi dari David. Melalui pendekatan partisipatif, pelajar belajar tentang perubahan iklim, abrasi, dan dampak perilaku manusia terhadap laut — sambil langsung terlibat dalam aksi nyata.
3. Ekonomi: Dari Limbah Menjadi Nilai
David dan komunitasnya memanfaatkan sampah plastik laut menjadi eco-brick untuk bangunan sederhana dan kerajinan tangan. Aktivitas itu tidak hanya membersihkan pantai, tapi juga membuka peluang ekonomi alternatif.
Demak, dengan banyaknya komunitas perempuan dan UMKM pesisir, dapat meniru langkah ini. Limbah tambak, jaring rusak, dan botol plastik bisa diolah menjadi material kreatif untuk kerajinan, suvenir, atau bahan bangunan ramah lingkungan.
Pendekatan ekonomi sirkular ini menciptakan siklus baru: dari sampah menjadi nilai, dari masalah menjadi peluang.
4. Sosial: Menumbuhkan Komunitas Penjaga Laut
Salah satu kekuatan David adalah kemampuannya menggerakkan komunitas. Ia tidak bekerja sendiri, melainkan membangun gerakan yang hidup di hati warga.
Demak memiliki banyak komunitas muda dan kelompok nelayan yang potensial — seperti kelompok sadar wisata, pelestari mangrove, dan pemuda karang taruna. Semangat bottom-up movement seperti yang dilakukan David bisa memperkuat sinergi antar-kelompok ini.
Gerakan “Penjaga Laut Demak” bisa lahir dari sini: sebuah inisiatif lintas desa untuk menyelamatkan pesisir, bukan hanya melalui proyek besar pemerintah, tetapi lewat gotong royong harian warga.
5. Spiritualitas dan Cinta Tanah Air
Apa yang membuat perjuangan David menyentuh adalah kesadaran spiritualnya. Ia memandang laut bukan sekadar ruang fisik, tapi juga ruang batin — tempat manusia berinteraksi dengan Sang Pencipta.
Kesadaran semacam ini sangat dekat dengan kultur masyarakat pesisir Demak, yang sarat nilai religius dan spiritual. Di sini, menjaga alam bisa dimaknai sebagai ibadah ekologis — amal jariyah untuk generasi berikutnya.
Jika semangat ini tertanam, maka aksi-aksi pelestarian bukan lagi beban, melainkan panggilan jiwa.
✍️ Tentang Penulis
Diam Nafi — penulis dan pemerhati sosial yang percaya bahwa kisah kecil bisa menyalakan perubahan besar. Aktif menulis liputan inspiratif seputar lingkungan, pendidikan, dan gerakan masyarakat berkelanjutan.
0 Komentar