Ketika Panggung Itu Kelas dan Jalan Pulang

Ketika Panggung Itu Kelas dan Jalan Pulang




Dulu sekali, saya pernah duduk di depan laptop, suara saya menembus kabel data dan gelombang sinyal, menjangkau orang-orang yang entah duduk di mana — barangkali di sudut kamar sempit, barangkali di ruang tamu sambil menahan sinyal putus nyambung. Webinar, tiketnya seratus ribu per orang. Pernah juga pro bono saja. Tak seberapa, tapi cukuplah untuk sekadar memastikan bahwa yang datang benar-benar mau mendengar.

Lalu waktu berputar, panggung saya pindah ke ruang-ruang pelatihan. Peserta di depan mata, whiteboard, sticky notes, tawa kecil di sela praktik. Tiketnya naik, tiga ratus lima puluh ribu per orang. Saya pulang bawa folder kertas berisi coretan peserta: mimpi-mimpi yang berusaha mereka rangkai ulang.

Tak berhenti di situ. Beberapa bulan lalu saya mengajar bootcamp — tiketnya sembilan ratus lima puluh ribu per kepala. Di situ saya belajar lagi: semakin mahal tiket, semakin besar tanggung jawab. Materi harus benar-benar renyah, padat, sekaligus menyalakan bara di kepala peserta. Kadang saya terpaku sendiri setelah sesi usai: siapa sangka panggung kecil ini bisa menghidupkan begitu banyak percakapan.

Panggung lain lebih megah lagi: gedung kementerian, AC dingin, kursi empuk, honorarium dua belas juta sehari. Tapi percayalah, bukan nominalnya yang membekas di ingatan, melainkan percakapan di lorong, tanya jawab di sela coffee break, dan tatapan orang-orang yang barangkali selama ini tak pernah sempat mendengar kalimat “kita bisa berubah”.




Pernah satu waktu saya sempat bercita-cita: bagaimana kalau saya manggung — mengajar — tiap hari? Ndilalah terkabul. Jadwal pelatihan datang silih berganti, tiga hari sekali, berbulan-bulan. Rasanya? Syukur, senang, campur aduk. Tubuh saya belajar arti lelah yang lain. Apalagi ketika banjir rob menyapa, macet menjebak di jalan pulang. Tapi di situlah saya sadar: bahkan lelah pun bisa membawa makna, jika hati masih mau mendengar.

Yang paling saya syukuri bukanlah angka di invoice. Bukan foto sertifikat yang diunggah peserta. Melainkan momen-momen kecil: ketika ada satu orang terdiam, lalu berkata, “Saya baru sadar betapa bahayanya kalau kita abai dengan lingkungan.” Lalu beberapa minggu kemudian dia mengabari, “Kami mulai bikin gerakan bersih-bersih, Kak. Doakan ya.”

Sejak itu saya paham: panggung ini bukan soal saya. Bukan soal berapa banyak kursi terisi. Tapi tentang benih-benih kecil yang tumbuh, diam-diam, di kepala dan hati orang-orang yang sempat singgah mendengar.

Maka setiap undangan mengajar, setiap pelatihan, setiap sesi diskusi — semuanya selalu saya anggap bekal. Untuk sesi berikutnya. Untuk panggung berikutnya. Untuk perjalanan pulang berikutnya.

Doakan saya tetap sehat. Doakan agar setiap langkah, kata, dan jeda tetap membawa berkah. Doakan semoga manfaatnya meluas, menular, menembus lebih banyak pintu. Dan semoga saya tetap ingat: panggung ini milik siapa saja, dan kita hanya sekadar lewat, memetik syukur, belajar tetap rendah hati.


Post Navi

Posting Komentar

0 Komentar